di sebuah bukit nun jauh disana terlihat tarian gelap asap hitam menyemburkan anak panah kegelisahan.
di sepinya alam pedesaan satu anak panah menusuk dada tembus ke tulang punggungku lalu tiba tiba aku lari tak kenal diri menuju asap gelap yang terus menari tak terkendali.
saat tiba di kaki bukit karang aku melihat hanya ada seaneka warna jagawana, meski berjuta mataku berkedip berjuta tanganku menggisik mata tetap saja hanya ada seaneka warna jagawana yang berjuang keras dihempas ombak lautan merah membara
dimanakah masyarakat samping bukit?
sayang, gelisah asap hitam di angkasa tinggi tidak menyentuh hati si pembasmi sunyi yang disamping bukit melulu tidur nikmat bermimpi, kegelisahan yang terjadi sunyi dari perhatian, dari pertolongan, dari belaian peradaban di bawah sana, ah peradaban, apa itu peradaban
tengkorak karang sehitam arang
jatuh tak berdaya ditelan jurang
lama terdengar suara dentuman
untuk tidak dilupakan
untuk tidak sekedar kabar
untuk tidak hanya dikenang
senja terlelap, memikul duka meninggalkan duka tentang kegelisahan malam, tentang jerit binatang malam menyambut datangnya bulan yang terhalang awan hitam penderitaan, tentang bangkai pepohonan, tentang bukit yang sepi menggigil diterpa angin malam.
dalam dengus memburu kuberlari tak terkendali, dalam bisu kubertanya, adakah balas budi sejati untuk bukit yang kini telanjang setelah cukup lama dilumat api?
topik
cicelot, 2002
No comments:
Post a Comment