“Tempat apaan ini, meja dan kursinya banyak amat, kok ada penyayi pula, ada orang yang mengantar – ngantar makanan segala, aduh itu di bawah ada kolam renang, sssstttt..ada lelaki yang membawa beberapa buku, sepertinya ia menuju kemari, iya benar ia menuju kemari, kok bukunya hanya berisi gambar - gambar makanan saja, waduh banyak sekali gambarnya, makanan semua, aih ko lelaki itu berdiri saja disitu, sepertinya mengawasi kami bertiga” omonganku dalam hati ketika pertama kali masuk ke sebuah tempat yang asing bagiku pada malam hari
Tempat itu tidak terlalu gelap dan tidak terlalu terang, di tempat itu, mata disuguhkan berbagai pemandangan indah dan tentunya ada perempuan yang seperti kata kebanyakan lelaki yang selama ini pernah kudengar mereka bersuara “bahwa kurang normal jika kita sebagai lelaki merasa bosan memandang perempuan seperti itu dalam jangka waktu yang cukup lama”.
tidak lama kemudian tiba – tiba salah satu dari kami “prok prok” bertepuk tangan “kenapa dia, kok pake tepuk tangan segala, ga ada kerjaan, stress kali ya, ah apa peduliku mendingan lihat – lihat buku lagi” lanjutku, tentunya masih dalam hati
“na-si kare”
“Silahkan pesan ap..?” tiba – tiba orang yang membawa buku itu bertanya di belakangku
“Nasi karedok!” aku kaget
Belum sepenuhnya menoleh kebelakang, orang tersebut bertanya lagi “minumnya?”
“teh" kataku singkat dengan nada sedikit kaget
Tidak lama kemudian lelaki yang mengagetkanku itu datang lagi tetapi kali ini ia membawa beberapa piring makanan beserta minuman ditemani perempuan yang hehehe, lho ko perempuannya membawa beberapa makanan dan minuman juga
“Silahkan” kata lelaki itu sambil menyodorkan nasi beserta “sepertinya karedok, iya benar, wah mirip dengan gambar di buku” kataku dalam hati dan kekagetanku tadi entah melesat kemana setelah ada nasi karedok berteman segelas teh di depanku
“Betapa mantapnya tempat ini” kata temanku yang terlihat menikmati suasana dan makanan yang disuguhkan
“iya” kataku, sambil melahap nasi karedok
“Lho kok, iya apa ya, aku mengiyakan apa, tempat ini? Ah tidak” lanjutku dalam hati ketika tiba – tiba terbayang olehku kehidupan yang kusaksikan tadi diluar disaat aku dan teman – teman berjalan menuju ke tempat ini dimana para gelandangan tersebut nampak kedinginan di emperan toko
“Tetapi iya juga ya, uh merdunya lagu yang dinyanyikan penyanyi itu” kataku sambil manyantap satu suap terakhir
“Memang” kata teman disebelahku “coba lihat tuh dibawah” lanjutnya
“busyet, betapa asiknya mereka berenang malam – malam di kolam yang dikelilingi taman di bawah sana” kataku masih dalam hati
“Apa ga dingin” dengan irama datar aku bersuara
“hhhhhhhhh” tiba – tiba kedua temanku tertawa
“Memangnya di tempatmu!, jam segini sudah “morongkol” seperti bayi dalam perut ibunya
“Ah aku ga ngerti” kataku menanggapi keasikan mereka mentertawakanku,
Dalam beberapa menit kedua temanku ngobrol sambil terus menertawakanku, sambil lirik kanan kiri, sambil menghisap sebatang rokok, lalu
“Makanya engkau jangan seperti katak di dalam tempurung, yu kita cabut” salah seorang temanku mengajak
“Mencabut apa?” kataku dan kedua temanku kembali tertawa yang kali ini terbahak bahak sehingga membuatku malu sebab orang – orang disekitarku banyak yang melihat ke arahku yang menjadi objek tertawaan kedua temanku itu
“Ah benar – benar ini mah, maksudku ayo kita pulang” kata salah seorang temanku “Ke rumahku” lanjut temanku yang satunya lagi
“Okay”
“Oalah, kebarat – baratan luh”
Saat berdiri aku terdiam, lalu menoleh kiri kanan depan belakang
“dimana keluarga petani ya? Dari tadi rasanya aku tidak melihatnya, bukankah mereka penyuplai utama beras dan lauk di tempat tersebut, itu kali, ah masa petani pakai dasi, barangkali yang itu, istri petani menor begitu, pakai lipstick?, pakai sandal yang tinggi belakangnya? Pakai kalung berkilauan? Rambutnya diwarnai? Rasanya bukan deh” dalam pikiranku mencari – cari keluarga petani
“Ayo!” kata kedua temanku dengan suara yang lebih keras membuatku terkaget – kaget dan kamipun berjalan menuju sebuah meja berbentuk persegi panjang, setelah salah seorang temanku dikasih potongan kertas kecil ia memberikan sejumlah uang
“O aku agak mulai mengerti nih, uang, ya, u-ang”
kamipun menuju pintu keluar, setelah menuruni beberapa jalan menurun berbentuk tangga dan gerbang yang dijaga beberapa orang berseragam sampailah kami di pinggir jalan raya, tidak lama kemudian sebuah mobil bertuliskan angkot berhenti tepat didepan kami, sebelum naik aku sempat menoleh ke sebelah atas gedung tempat dimana kami makan, aku melihat ada huruf – huruf mengeluarkan cahaya lampu, huruf – huruf tersebut membentuk beberapa kata yang salah satunya adalah “Restoran”
topik
Bekasi, 12 Januari 2008
No comments:
Post a Comment