Monday, April 27, 2009

Teman Sebangku

Apakah huruf huruf yang akan berbaris berikut ini adalah cerita belaka atau realita yang terbendung dada berhamparkan kemeja dimana diatas hamparan itu terbujur kaku selembar dasi impian para pemburu rebutan para pendusta ataukah rentetan huruf yang tidak runtut ataukah ini, ah bahkan saya belum tahu apakah ini, cobalah untuk mencoba berbelok sebentar kearah sini

Terima kasih, seperti kebanyakan teman sekelas yang sangat bergembira diwaktu itu saya sampaikan kepada guru menggambar ketika kami di beri nilai delapan untuk tugas menggambar pemandangan dimana pada umumnya gambar pemandangan tersebut adalah dua buah gunung, satu kecil satu besar, satu matahari, satu jalan yang ujungnya bertemu di satu matahari beserta dua petak sawah di kiri kanan jalan ditambah sedikit pemanis beberapa pohon diantaranya pohon kelapa.

Tetapi ucapan terima kasih itu sepertinya tidak berlaku bagi teman sebangku untuk gambarnya yang berupa hamparan lingkaran kecil-kecil bercampur titik - titik tidak teratur hampir memenuhi kertas, ditengah hamparan tersebut ada gambar seperti kepiting bercapit satu, diujung pojok atas kanan ada dua buah pohon yang satu tanpa daun dan satunya lagi hampir tanpa daun lalu dibawah kedua pohon tersebut ada manusia kurus tampak duduk termenung di depan gubuk, barangkali atas gambarnya itu ia tidak seperti kami yang gembira, ia termenung, ia mendapat nilai enam dimana nilai enam diwaktu itu sudah cukup menjadi bahan ocehan dalam hal menggambar pemandangan

“Seperti kebanyakan mereka yang memandang ocehan adalah runcing melukai, lihatlah teman kita yang melamun di depan tenda kita itu”, ada suara diiringi angin sepoi – sepoi masuk ke telingaku

“Memangnya kenapa dia” begitu suara yang keluar dari mulutku sebagai hasil dari olahan suara yang baru saja masuk ketelingaku

“Tadi, ketika di perjalanan menuju ujung hutan ini, masih ingatkah engkau ada beberapa orang yang sedang nongkrong di pinggir got?”

“Ya, aku masih ingat, yang menyemprotkan beberapa kata prot prot prot itu kan?”

“Yap betul! rupanya akibat beberapa kata prot prot prot dari beberapa orang di pinggir got tadi teman kita jadi seperti itu”
“Ah sok tahu, tahu dari mana?”


“Dia sendiri yang mengatakannya, engkau sih mengamati penambangan pasir itu melulu, seperti pengamat saja, mungkin teman kita itu tadinya tidak akan seperti itu tetapi setelah dia bercerita dan hanya aku yang memperhatikan sedangkan engkau hanya bengong melihat penambangan itu makanya dia memastikan dirinya untuk melamun, bahkan engkau tidak sadar kan ketika dia berjalan menuju tenda kita itu?”

“Iya”

“Apa sih yang engkau perhatikan dari pen…. sir…. tu….. y… s……p.. g….. t……”

Duduk diatas batu besar di ujung hutan pinus di samping seorang teman yang suaranya sudah tidak terdengar lagi, perhatianku terhanyut pada penambangan pasir di bawah sana, dan gambar pemandangan teman sebangku di waktu itu, kepiting capit sebelah itu disana!, sibuk menggaruk garuk tebing berpasir, dan gubuk yang tinggal reruntuhan itu, ya! hampir tergaruk tetapi dimana kedua pohon di samping gubuk itu, dimana manusia kurus yang sedang termenung itu, tiba – tiba aku teringat pada teman sebangku diwaktu itu

Mungkinkah batu yang aku duduki ini adalah tempat dimana teman sebangku menggambar pemandangannya, bisa jadi! Dulu dia kan tinggal di bawah sana, di lokasi yang kini menjadi wilayah penambangan pasir itu, aku jadi penasaran, huh.. kini dia tinggal dimana ya

“Mela…”

“Termenung! ya termenung”

“Apanya yang termenung, melamun!, ah mengapa acara camping ini diisi dengan acara melamun, kita datang kesini bukan untuk melamun tapi untuk bergembira, menikmati suasana yang berbeda, lihat tuh matahari mulai tenggelam, busyet indahnya!” seru teman disampingku

“Mendingan kita cari kayu bakar sebelum matahari benar – benar tenggelam” tambahnya lalu beranjak dari tempat duduknya

“Tunggu dulu” kataku

“Apa lagi, hari keburu gelap”

“Engkau ingat gambar teman sebangkuku, yang ada gambar manusia sedang termenung yang waktu itu menjadi bahan ocehan di kelas kita, waktu itu engkau juga turut mengoceh dengan mengatakan ini gambar manusia atau cacing kepanasan, yang merupakan gambar satu satunya yang mendapat nilai enam”

“Ah, mau cacing, mau termenung, mau manusia terserah engkaulah, yang penting sekarang kita cari kayu bakar, ayo!” seru temanku sambil menarik – narik tanganku

Hari memang mulai gelap, kami pun beranjak lalu berjalan menuju kearah tenda hendak mengambil golok dengan sesekali membungkuk untuk menyingkabkan semak berduri disamping kanan kiri jalan yang kami lewati, ketika perhatian kami terpaku pada semak tersebut, tiba – tiba di hadapanku ada sesosok manusia berperawakan kerempeng dengan ransel dipunggungnya melemparkan senyum, aku sempat kaget dan temanku yang sedang sibuk membungkuk menyibakan semak berduri di belakangku menyundul pantatku sebab aku tiba – tiba berhenti berjalan

“Oi jangan main – main dong!”, bentak temanku

“Ke puncak?” tanyaku pada orang dihadapanku

“Iya”

“Sendiri?” tanyaku kembali

“Iya” jawabnya “silahkan kang” manusia berperawakan kerempeng itu keluar jalur sedikit memberi kami jalan untuk lewat setelah itu ia berjalan kembali tanpa memperhatikan semak berduri yang sesekali nyangkut di celana panjangnya

“Siapa dia?” Tanya temanku

“Tidak tahu” jawabku “Tetapi dari raut muka orang itu sepertinya aku mengenal manusia berperawakan kerempeng itu” gumamku

“Gambar itu!” aku teringat sesuatu

“Oi kang!” Teriaku, guprak! temanku jatuh ke semak rumput berduri sebab tersenggol olehku yang tiba – tiba berbalik hendak mengejar manusia berperawakan kerempeng itu

Tetapi ia sudah jauh melangkah menapaki jalur menuju puncak gunung nun jauh disana, tubuhnya sudah tidak terlihat lagi, menghilang dibalik pepohonan, lenyap ditelan remang remang sore menuju malam

“Hey bantu aku! sialan kau!” temanku berteriak, baju bagian belakangnya tersangkut di semak berduri sehingga ia sulit bangkit sebab tangannya terselip di dahan - dahan kecil semak berduri, aku menghampirinya lalu perlahan lahan membantunya untuk bangkit kembali dan berhasil namun tangan kanan kirinya serta beberapa bagian kakinya berdarah terparut dahan - dahan semak tersebut

“Engkau masih ingat gambar pemandangan teman sebangkuku, yang waktu itu menjadi bahan ocehan di kelas kita, gambar satu satunya yang mendapat nilai enam?” tanyaku kepada temanku yang masih mengaduh ngaduh menahan perih, “Dari raut mukanya, manusia kerempeng tadi seperti teman sebangkuku, teman sekelas kita diwaktu itu” tambahku

“Ah sudah kubilang, mau sebangku, setidakbangku terserah engkaulah, yang penting tangan saya nih, kaki saya, sialan kau! sekarang saya mau membersihkan sisa duri yang masih menempel ini dan engkau cari kayu bakar sendiri atau jika takut ajak tuh teman kita yang hingga kini masih melamun juga, bilang padanya hari mulai gelap, sudah waktunya bersiap siap membuat api unggun, kalau tidak mampuslah kita dikepung kedinginan” kata temanku bernada kesal.

Kamipun berjalan menuju tenda, temanku masih mengaduh – ngaduh sedangkan pikiranku terus tertuju pada raut wajah manusia berperawakan kerempeng tadi, ia sendiri, berani sekali sedangkan hari mulai gelap, apa tidak takut, jalan menanjak, jalur yang sulit, suasana yang gelap, gambar dengan nilai enam itu, teman sebangku yang termenung, teman sekelas yang bergembira, penambangan pasir itu, ah pikiranku melayang – layang.

Hari sudah gelap, kayu bakar telah kukumpulkan di depan tenda dan api unggun menerangi wilayah sekitar tenda, hari semakin gelap, temanku terus mengaduh – ngaduh dan temanku yang satunya lagi terus malamun, aku bingung, ngantuk dan tidur.

“Silahkan teman, lanjutkan perjalanmu” tiba – tiba aku berkata kepada manusia berperawakan kerempeng di sebuah tempat peristirahatan dimana hanya ada aku dan dia

“Baiklah, seandainya aku berhasil mencapai puncak kutunggu engkau di sana” ucap manusia berperawakan kerempeng itu agak menantang, lalu ia pun pergi menuju puncak setelah memberikan segulung kertas kepadaku, aku penasaran ada apa dibalik gulungan kertas tersebut dan aku membukanya

“Benar dugaanku!, benar, huree benar” aku berteriak

“aaww..aww.. aduh sakit, apanya yang benar!” teman disampingku marah dan mengaduh – ngaduh sebab tangannya kutarik – tarik hingga bekas parutan batang semak berduri kemarin sore tergesek – gesek baju tangan panjangnya, kemarahannya itu tidak berlangsung lama, nampaknnya ia ngantuk berat

Jarum jam di tanganku menunjukan pukul satu, aku teringat gambar pemandangan teman sebangku di waktu itu, aku teringat penambangan pasir itu, aku teringat kejadian kemarin sore, aku teringat manusia berperawakan kerempeng itu, aku teringat mimpi yang baru saja terjadi, aku merinding saat mengingat diriku.

Topik
Bekasi, Januari 2009

No comments:

Post a Comment