Thursday, June 23, 2011

bertemu matahari di puncak gunung ciremai

Tekad terpendam masa SMA akhirnya terlampiaskan. Kini, gunung ciremai yang dulu selalu menggoda batin telah kudaki. Puasnya hatiku, melebihi kepuasan ketika mendapat nilai sepuluh di bangku sekolah formal.

Begini ceritanya:

Salah satu syarat mendapatkan nomor anggota, seorang siswa Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam SAHARI diwajibkan menemui matahari diatas ketinggian 3000 mdpl, untuk itu kami sebagai calon anggota muda melaksanakannya dengan mendaki gunung ciremai.

Seminggu sebelum pendakian, kami mengadakan sejumlah pertemuan, selain sebagai salah satu persiapan juga untuk meminimalisir bahaya yang mungkin terjadi.

Menjelang satu hari sebelum hari pelaksanaan, tersiar kabar dari seorang anggota senior bahwa salah satu station TV swasta memberitakan di jalur pendakian linggarjati terjadi keributan yang mengakibatkan dua orang pendaki terluka akibat di tebas senjata tajam oleh sekelompok orang tidak dikenal, namun motif dari kasus tersebut belum diketahui sehingga kami meragukannya, untuk meyakinkan kebenaran berita itu, kami langsung memburu berbagai media masa, sementara itu seorang senior asal kuningan yang berhalangan menyertai kami, langsung mengarahkan hp nya ke tetangga di kampung halamannya yang berlokasi disekitar kaki gunung ciremai, dan diterima kabar bahwa kegiatan pendakian gunung ciremai berjalan lancar dan aman bahkan menurut tetangganya itu “pada malam tujuh belas Agustus banyak pendaki menuju puncak gunung ciremai untuk melaksanakan upacara 17 Agustus 2004”. Untuk lebih memastikan kabar tersebut dihubunginya sekali lagi dan didapat kabar yang sama.

Hari pertama

pendakian dilaksanakan seiring doa dan harapan agar selamat dan kembali dalam keadaan utuh, tim terdiri dari sembilan orang, dua orang teman dari senior saya (orang garut) dan satu orang sepupu saya yang sengaja datang dari cimalaka tempat kelahiranku, ketiganya bukan calon anggota tetapi mereka memiliki keinginan yang sama seperti saya dan calon anggota lainnya yaitu bertemu matahari di puncak gunung ciremai

Beberapa mangkuk bubur ayam kami santap sebagai sarapan pagi (maklum anak kost) Pukul 07.15 WIB mobil angkot jurusan cilenyi – cicalengka mengantarkan kami ke terminal cileunyi, seperti biasa sekelompok orang yang kami kenal sebagai calo datang menghampiri bagai semut menemukan gula, bermacam omong kosongpun lalu lalang didepan mata, padat mengisi telinga. Beruntungnya kami, mobil bus jurusan bandung - cirebon - tegal telah menanti penumpang di seberang sana, kamipun langsung menuju bus tersebut lalu duduk menunggu penumpang lainnya.

Tepat pukul 07.30 mesin mobil terdengar meraung, pertanda akan segera berangkat dan aneka warna pedagang asongan, pengamen jalanan, hijaunya sawah dan hutan, keringnya hutan jati, dan jejak – jejak perusak bukit menghiasi kaca jendela mobil..

Sekitar pukul 10.45 wib, tibalah kami di terminal cirebon. sejumlah orang tua menyapa kami, aku hanya bisa tersenyum dalam kebingungan untuk memahami bahasa yang mereka gunakan.

Mobil bus kecil jurusan cirebon – tasik membawa kami menuju cigugur setelah sebelumnya berdebat dengan seorang calo yang membujuk kami untuk naik mobil angkot yang menurut calo tersebut akan mengantar kami ke pos awal pendakian, kami menolaknya, sebab kami sadar bahwa kami adalah orang baru di mata mereka sehingga kami sulit untuk mempercayainya.

Dengan ongkos Rp. 3500/orang sampailah kami di cigugur yang tidak lain adalah daerah awal menuju jalur palutungan, setelah melengkapi perbekalan, sebuah mobil angkutan tua membawa kami menuju pos awal pendakian yang bernama pos induk palutungan, tiba di pos tersebut sekitar pukul 12.30 wib.

Suasana pedesaan menyambut kami, di sebrang jalan terlihat sebuah sungai kecil dengan air yang cukup jernih dan digunakan para petani wortel untuk membersihkan hasil panennya.

Kami istirahat sejenak sambil menunggu penjaga pos mengurus karcis pendakian yang harganya Rp 3500/orang.

Karcis telah didapat, sebelum melangkahkan kaki menuju kemegahan gunung ciremai kami semua berfoto ria di depan pos induk palutungan. Dengan semangat yang masih utuh jalan menuju puncak mulai kami telusuri, hamparan pohon wortel dan sayuran lainnya mewarnai perkebunan yang dilalui, tak terasa lorong hutan pinus telah kami masuki, perkiraanku setelah melewati hutan ini akan ada hutan yang lebih lebat lagi, namun ternyata tanah perkebunan masih mendominasi wilayah ini dan jalan berdebu sedalam tumit merintangi perjalanan dengan debunya yang menyesakan nafas, langkah demi langkah berusaha kami nikmati walau keadaan terasa pengap, panas dan gersang.

Saat tiba di jalan yang bercabang, kami memilih jalur yang ke kanan dan akhirnya tersesat, untungnya seorang petani yang sedang merawat tanamannya memberitahukan bahwa jalan yang sedang kami gunakan bukan menuju puncak gunung ciremai, terpaksa dengan agak kecewa kembali lagi tetapi sebelum kembali kami berfoto ria untuk menghilangkan kepenatan suasana yang begitu panas, saat tiba di jalur bercabang yang menyesatkan tadi, kami langsung berjalan ke arah yang satunya lagi hingga bukit berbajukan pohon pinus mulai terlihat, seorang polisi hutan beserta dua orang pemuda muncul diantara rimbunnya semak yang menutup sebagian jalan, mereka berjalan berlawanan arah dengan kami, setelah saling berhadapan merekapun bersalaman denganku (entah kenapa hanya aku yang diajak berjabat tangan oleh mereka) dan berpesan agar kami berhati – hati sebab menurutnya di puncak sana banyak terdapat titik rawan kebakaran.

Jalan setapak yang cukup landai membawa kami tiba di mata air cigowong, di tempat tersebut telah berdiri sebuah tenda, entah kelompok dari mana saya malas menanyakannya, sementara waktu menunjukan pukul 15.17 WIB. Hangatnya suasana senja, damainya air bernyanyi membuat kami terbuai dan beristirahat dalam waktu yang cukup lama, rencananya setelah melaksanakan kewajiban sembahyang magrib, perjalanan dilanjutkan.

Setelah puas memandangi keadaan sekitar, aku pergi ke daerah aliran air dengan maksud mengisi air untuk keperluan memasak, betapa terkejutnya saat kulihat sebuah kotoran manusia menghadang langkahku dan mengeluarkan aroma yang memualkan, kecewanya hatiku dan sempat memaki, “kelakuan siapa ini? jorok, apakah penduduk dibawah sana tahu bahwa sumber airnya telah tercemar oleh manusia tak berakal sehat ?”. Khawatir akan adanya kotoran lain yang tak terlihat akupun menyusuri aliran air dengan maksud mencari sumbernya dan tak lama waktu berselang mata air pun menampakan dirinya, kecemasanku berkata “tempat seindah ini akankan bertahan seiring banyaknya petualang yang malas menghargai orang lain”. tempat air terisi penuh, kamera pun kubidikan untuk mengabadikannya dan kembali ke tempat dimana teman – teman beristirahat dan memasak.
Angin dingin mulai datang diantara keadaan menuju gelap, sehingga aku malas untuk melanjutkan perjalanan, namun teringat akan tujuan dari kegiatan ini semangatpun kupaksa untuk tetap bertahan, setelah gelap mendominasi keadaan, perjalanan kami lanjutkan dipandu oleh remangnya lampu senter.


Sekitar pukul 19.35 kami tiba di paguyangan badak, dilihat dari luasnya nampaknya tempat ini adalah tempat yang sering digunakan oleh para pendaki, selain sebagai tempat istirahat juga sebagai tempat berkemah. Gula merah yang dimasukan ke dalam satu botol air aqua membuatku merasa segar kembali. Perbincangan yang tak asing lagi bagi para pendaki terasa memecah sunyi seakan melupakan bahwa mereka telah menempuh jalan yang cukup jauh. Perjalanan dilanjutkan saat keringat terasa dingin, kami terus berjalan tanpa ada yang mengetahui berapa lama lagi tiba di puncak dan akhirnya setelah salah seorang dari kami ada yang tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan, kamipun memutuskan untuk menghentikan perjalanan lalu mendirikan shelter di tempat yang cukup luas.

Dua tenda didirikan setelah itu ranting – ranting dikumpulkan untuk membuat api unggun sebagai penghagat tubuh, sebagian dari kami ada yang langsung merebahkan badannya di salah satu tenda dan ada yang asik memanjakan api sementara aku sendiri menyiapkan tempat istirahat agar terasa nyaman, ketika kami sibuk dengan keasikan masing – masing, tiba – tiba tiga orang pendaki datang dan memutuskan untuk bberkemah bersama kami, shelterpun bertambah menjadi tiga dan menambah nyaman suasana.

Hari kedua

Matahari mulai menampakan sinarnya, sementara burung ramai bernyanyi dan pohon – pohon terlihat manja dibelai angin, satu persatu kami keluar dari tenda dan menghirup udara pagi pegunungan yang sungguh menyejukan. Setelah sarapan kami semua melakukan packing, lalu melanjutkan perjalanan, jalan terasa semakin menanjak sementara puncak gunung ciremai mulai menampakan keindahannya. Sewaktu istirahat di pertemuan jalur apuy dan palutungan, kami berpapasan dengan sekelompok orang yang sungguh membuatku salut dan terharu, mereka membawa sampah – sampah di sekitar jalur apuy untuk dibawa kebawah, menurut salah seorang pemuda yang tiada lain adalah kepala sukunya mereka adalah pemuda karang taruna apuy yang sedang melakukan bersih gunung.

Pukul 10.15 kami tiba di gua wallet, sebuah gua yang terdapat di dalam cekungan tanah yang cukup luas dan dalam, untuk menempuhnya diperlukan tenaga yang cukup banyak karena kita harus berjalan ke sebrang jalan pendakian dan turun ke bawah melalui jalan yang dibuat menelusuri tebing. Oleh karena itu kami semua hanya melihatnya dari atas dan mengabadikannya, suasana dingin dan perjalanan yang cukup melelahkan membuat kami memilih untuk istirahat dan memasak

ramuan jahe dan kopi terasa nikmat dan menyegarkan, kami meminumnya sambil memandang jauh ke bawah, sungguh mengasikan. Sementara itu puncak gunung ciremai telah menampakan keindahannya dan membuat hati semakin tentram, menurut kami puncak tersebut dapat ditempuh dengan waktu satu jam lagi, karena jaraknya terlihat dekat dari tempat kami beristirahat.

Setelah puas melahap hidangan para pendaki, perjalanan dilanjutkan. Jalur yang hampir vertical memaksa kami berjalan lambat. Akhirnya setelah melewati jalur dengan kemiringan kira-kira 75 derajat, kawah gunung ciremai menyambut kedatangan kami dengan kemegahannya, kawah yang sungguh menakjubkan, mengobati semua tenaga yang terkuras. Sekitar pukul 12.30 wib kami tiba di puncak, puncak yang selama ini aku impikan.

Masalah mulai datang saat kami hendak membuat shelter untuk yang kedua kalinya (kami sepakat untuk mendirikan shelter di bibir kawah gunung ciremai sebab ingin menyaksikan pemandangan malam hari di puncak gunung tersebut). keadaan mulai gelap dan udara terasa sangat dingin, tubuh – tubuh kami kesulitan untuk bergerak secara normal, baru kali ini saya merasa sedingin ini saat berada di puncak gunung, barangkali ini disebabkan karena saya baru pertama kali berada di sebuah puncak tertinggi di jawa barat sebab sebelumnya hanya mendaki gunung – gunung yang tingginya berada di bawah gunung ini. Tetapi seiring berjalannya waktu, dengan tubuh – tubuh yang bergetar dan bergerak sedikit kaku tenda berhasil didirikan meskipun dalam waktu yang cukup lama.

Bau belerang yang menyengat membuat tenggorokan terasa kering dan kepala begitu pening ditambah angin dingin yang membuat tubuh menggigil dan sekitar pukul 06.30 ranting telah selesai kami kumpulkan.

Tidak sabar ingin segera dibelai hangatnya api unggun, kamipun bekerjasama menyalakan api dan berhasil, namun apa yang terjadi? Sebelah hangat - sebelah dingin, bagian tubuh yang menghadap api terasa hangat namun bagian lainnya tetap saja dingin menggigil, lucu, aneh dan merepotkan sebab kami harus memutar – mutar badan seperti kambing guling agar semua bagian tubuh tidak terasa dingin.

Cukup lama kami membolak balikan badan hingga akhirnya bosan sendiri, dan satu persatu berusaha untuk tidak peduli, hasilnya, kami berusaha menidur – nidurkan diri namun tetap tak tertidur yang ada hanya ramainya alunan suara yang berbunyi “heuu.uuuu.. heuuuuu..hu heuuuuu diii..iii.iiingiiin”.

Dalam buaian suara orang yang menggigil akhirnya aku bisa tidur juga dan tidak terasa pagi telah tiba, aku segera bangun begitu juga teman – teman (sebagian ada yang bergadang, sibuk sendiri menahan aneka tusukan angin malam) sebab ingin menyaksikan bangkitnya matahari di ufuk timur. Saat matahari menampakan sinarnya yang begitu menakjubkan, aku merasa bangga sebab dengan perjuangan yang melelahkan akhirnya dapat bertemu matahari, saling berhadapan, saling berpandangan, tidak seperti mereka yang dibawah sana, yang betah tinggal di rumah, yang belum pernah bersusah payah mencari matahari yang bangkit begitu indah.

“hello matahari” kataku dalam hati

Hari ketiga

Setelah menyaksikan dan merenungkan suasana yang mengagumkan, kami berfoto ria sebagai kenang - kenangan lalu pulang lewat jalur apuy berbekal petunjuk jalan setapak yang terlihat licin bekas injakan kaki para pendaki. Tak lama kemudian bertemu dengan rombongan yang turun terlebih dulu, kami mendahului mereka dan merekapun mendahului kami begitu seterusnya hingga sampai di ujung hutan, mereka istirahat, setelah sapaan persahabatan terdengar dari kami dan juga mereka, kami meneruskan perjalanan dan tiba di sebuah perkampungan lalu istirahat. Baiknya si empunya rumah, kami disuguhi air, rasa terima kasihpun teriring doa semoga amalnya di terima Allah SWT.

tidak lama waktu berselang, mobil muatan sayuran datang, kami ikut menumpang sampai terminal majalengka dengan bayaran dua ribu lima ratus per orang, dari terminal naik elf jurusan majalengka – bandung ke terminal kadipaten, tadinya di kadipaten kami akan turun untuk naik angkot ke terminal sumedang sebab mobil yang kami tumpangi katanya hanya sampai kadipaten, tetapi bapak sopir berubah pikiran

“lanjut ke bandung deh”

dan mobilpun meluncur ke arah bandung.

topik,
cipacing, agustus 2004

No comments:

Post a Comment