aku tidak mengerti, tiba – tiba aku berada di jalanan mengendarai scott si mountain bike, sendiri menggendong daypack dan bertanya pada diri sendiri:
“gunung papandayan?”
“gunung guntur?”
“papandayan?”
“guntur?’
“tot tot toooooooooooooott” suara klakson mengagetkanku lalu terdengar suara menggelegar “monyet” diikuti sorotan mata banteng, jika aku tidak buru – buru menepi mengangkat scott si mountain bike ke trotoar jalan sepertinya sebuah kabar akan terbang menuju kampung halamanku sambil berteriak – teriak “tertabrak angkot, tertabrak angkot”
teurtabrak?, kalaupun terjadi, bukannya ditabrak?, aku berada di jalan satu arah sedangkan angkot tersebut melawan arah hendak memburu karyawan kahatex yang baru bubaran kerja
Dengan isi kepala di sesaki kebingungan aku menlanjutkan perjalanan, melesat dan terus melesat mobil – mobil dan motor – motor mendahuluiku, matahari terus meninggi, panas terus meningkat, debu semakin erat memeluku
“tanjakan, dimana jalan menurun” protesku pada jalan yang menanjak
“turunan, jangan terlalu menurun” protesku pada jalan yang tajam menurun
“Gunung guntur!, ya itu gunung guntur, oi guntur sedang apa engkau” teriaku di dalam hati ketika tiba tidak jauh di depan halaman gunung guntur
“kesitu jangan?” tanyaku pada gunung guntur
“tapi, siang pun belum setengahnya, sepertinya kapan – kapan aja ya” aku ragu
“Oi guntur, kapan – kapan saja ya, aku ke papandayan dulu” kutarik kembali maksudku menemui gunung guntur dan scott si mountain bike kuboseh kembali hendak menuju gunung papandayan meskipun arah menuju papandayan berada didalam ketidaktahuanku dan sampailah aku di terminal guntur garut, istirahat dulu, ngopi dulu, ngerokok dulu, sebelum melanjutkan perjalanan aku bertanya dulu kepada pemilik warung:
“kang, arah menuju papandayan kemana ya?”
“akang memakai sepeda” pemilik warung balik bertanya
“iya kang” jawabku
pemilik warung itu terlihat berpikir lalu menjawab pertanyaanku tadi
“kalau dari sini kang, aduh gimana ya, ingat – ingat lupa, pokoknya akang dari terminal ini ikuti saja mobil yang menuju ke cisurupan, nanti setelah sampai cisurupan tinggal nanya penduduk setempat”
“oke deh, makasih yang kang, sekarang saya akan melanjutkan perjalanan lagi”
“iya sama – sama, hati – hati ya”
Setelah perut merasa cukup terisi sedikit nasi, lubang pernafasan cukup terkuras oleh asap rokok, tenggorokan cukup tercuci oleh air kopi akupun melanjutkan perjalanan, jawaban pemilik warung kuturuti dan petunjuk jalan buatan DLLAJ kuikuti, untuk memastikan sesekali aku bertanya pada orang yang berada di pinggir jalan, lalu bersama scott si mountain bike sampailah aku di sebuah pertigaan dimana disitu ada plang petunjuk arah menuju gunung papandayan
“aga tenang nih, tapi masih jauh atau sudah dekat ya?”
“maaf kang mau tanya” kataku pada tukang ojek yang sedang nongkrong sambil negeroko
“iya silahkan”
“ke gunung papandayan masih jauh atau sudah dekat ya?”
“yah kalau naik sepedah mah lumayan, tapi suka ada ko yang naik sepeda juga, akang dari mana?”
“saya dari cipacing cileunyi, mau ke sumedang”
“ooo, kenapa lewat sin..”
“makasih ya kang” kataku
“okay okay” kata tukang ojek keinggris inggrisan dan keheranan
Langsung cabut, tanpa istirahat, tanpa ngerokok dulu, tanpa ngopi dulu kulanjutkan perjalanan sebab khawatir di jalan kemalaman, masalahnya saya lupa bawa lampu penerangan, kuboseh dan kuboseh dan kuboseh scott si mountain bike ku, sesekali, beberapa kali, berkali – kali dan akhirnya aku berjalan berdampingan dengan scott si mountain bike, sampai matahari berada di ujung langit sebelah barat aku merasa tidak kuat lagi bahkan untuk berdiripun rasanya lututku kehilangan kekuatannya.
“Guprak” aku merobohkan diriku sendiri disamping scott si mountain bike yang kusenderkan pada sebuah batu yang tidak terlalu kecil
“ayo kamu pasti bisa, cepat, cepat, bangkit atuh” tiba – tiba ada suara teriakan
Aku pun menoleh ke arah suara tersebut dan terlihat seorang tua sedang berjalan menuruni tanjakan menuju ke arahku, orang tua tersebut membawa seikat kayu bakar yg disimpan di pundak kirinya, sambil melambai – lambaikan tangan kanannya ia memberi semangat
“ayo jang, cepat ayo semangat”
“siapa orang tua ini”
“ah!, sebentar lagi ayo”
“beneran pak”
“ia ayo cepat, cepat, cepat, bangkit, semangat, boseh sepedanya” sambil terus menuruni tanjakan tanpa berhenti menghampiriku orang tua tersebut tak henti – henti memberi semangat, wajahnya terus menatapku sedangkan badannya membelakangiku
“okay” kataku dalam hati tanpa melayani teriakan orang tua tersebut sebab aku merasa heran “kenapa dia” pikirku aneh
“Ayo bangkit!” teriakan orang tua itu masih terdengar lumayan keras meskipun tubuhnya sudah tidak terlihat lagi dilahap tikungan tajam yang tidak begitu jauh di bawahku
“uh seorang tua, hampir kakek – kakek lagi, heran”
Aku bangkit kembali lalu menuntun mountain bike, rasanya meskipun nanti ada tanjakan yang sangat landai aku sudah tidak sanggup lagi memboseh
“ah payah, tumpakan atuh, boseh!” tiba – tiba orang tua yang memberi semangat itu nongol di balik tikungan tajam
“busyet, kenapa orang tua ini” gerutuku dalam hati sambil menghadapkan muka tersenyum ke arah orang tua itu dan aku tidak menghiraukannya lagi hingga teriakan semangat orang tua itu ditelan waktu, langkah demi langkah rasanya berat untuk dilangkahkan, lututku gemetar, matahari sudah hampir tenggelam, terang mulai berubah menjadi remang – remang
“Aroma belerang!, iya ini aroma belerang” hidungku memberi sinyal dan lututku yang sangat yakin akan kemampuan hidungku mendadak normal kembali, tidak gemetar, tidak lama kemudian tanjakan melandai terus melandai lalu datar lalu sedikit menurun, akupun menaiki scott si mountain bike, tanpa diboseh scott si mountain bike maju sendiri membawa tubuhku menuju tikungan lalu kuboseh beberapa saat dan....
“Akhirnya!” entah kata apa yang harus kuanyamkan guna membentuk kegembiraanku dalam sebuah kalimat ketika mengetahui bahwa aku sudah sampai di sekitar kawah gunung papandayan, pokoknya aku gem-biraaaaa sekali
Sebuah lapangan yang separuhnya dikelilingi warung, sebelumnya aku pernah melihat lapangan tersebut, tetapi di televisi dan kini aku melihatnya dengan mataku sendiri, iya betul, lapangan tersebut yang disebut – sebut beberapa kali di televisi dengan nama camp david, aku masuki wilayah camp david, yang pertama aku lakukan adalah menghampiri warung, makan nasi goreng, minum air teh hangat, ngerokok Dji Sam Soe, rasanya asik sekali
Selesai makan hari sudah gelap, aku mencari tempat nyaman untuk mendirikan tenda, o iya aku baru ingat, aku tidak membawa tenda, akhirnya berpenerangan bintang dan bulan aku berjalan ke sebelah timur keluar lapangan mencoba mencari tempat yang nyaman untuk istirahat dan menemukan sebuah musola, aku beristirahat di musola tersebut, kantung tidur kukeluarkan dari daypack, sebelum malam semakin larut aku mencoba untuk tidur beralaskan lantai keramik musola, aku kedinginan, sulit tidur, sampai pagi tiba rasanya aku hanya tidur sebentar saja sebab aku benar – benar kedinginan, kantung tidur tidak sanggup menghangatkanku dari dinginnya lantai keramik, dan di pagi itu aku baru berpikir kenapa tidak tidur beralaskan tanah, mungkin tidak sedingin lantai keramik.
Pagi yang cerah mengawali hari itu, lontong, gorengan, wedang jahe mengawali isi perut dan rokok Dji Sam Soe selalu hadir menguras tenggorokanku, goesan semangat mengawali perjalanku selanjutnya dengan menyusuri jalan – jalan setapak diantara kawah – kawah bekas letusan gunung papandayan, aku tidak kembali lagi ke jalur yang kemarin kulalui, aku meneruskan perjalanan mengikuti jalur yang ditunjukan oleh pemilik warung bahwa ketika aku melewati jalan – jalan setapak diantara bekas – bekas letusan maka aku akan menemukan jalan berkerikil yang cukup besar untuk sebuah mobil, dengan menyusuri jalan yang cukup besar tersebut maka aku akan sampai di pangalengan, dari pangalengan scott si mountain bike tinggal kularikan menuju bandung.
Petunjuk pemilik warung tersebut tidak menyesatkan, sekitar tengah hari lebih sedikit aku sampai di pintu gerbang Malabar pangalengan, tidak jauh dari pintu gerbang tersebut aku menghampiri sebuah warung lalu makan dengan lahapnya, setelah rokok habis sebatang aku melanjutkan perjalanan hingga sampai di depan pintu tol mohammad toha lalu scott si mountain bike kulaju menuju jl soekarno hatta, cibiru, cileunyi
“tempat kost?, ah lewat”
tanjungsari, cadas pangeran, kota sumedang, dan sekitar pukul 19.00 wib disaat akan memasuki cimalaka ban depan scott si mountain bike gembos, mencari tukang tambal ban tidak ketemu sehingga meskipun jalan tidak menanjak scott si mountain bike kutuntun sampai tiba di kampung halamanku.
Topik
Februari, 2009
No comments:
Post a Comment